Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, pada hari Kamis, 17 Juni 2010 lalu, dalam pertemuan antara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dengan Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan Polri, memberi pernyataan sikapnya tentang kasus video porno yang oleh media massa para
pelakunya disebut-sebut dengan “mirip Ariel Peterpan, mirip Luna Maya, dan mirip Cut Tari.”
Entah apa dasar pemikirannya, atau apa maksudnya, Tifatul menganalogikan kasus video porno tersebut dengan peristiwa penyaliban Yesus Kristus berdasarkan keimanan agama Kristen dengan agama Islam.
Dalam pernyataan tersebut Tifatul mengatakan, orang-orang yang disebut mirip-mirip itu harus segera diperjelaskan. Apakah betul mirip saja, atau memang asli orangnya.
“Kalau yang mirip ini tidak dituntaskan, akan panjang implikasinya,” katanya, seperti dikutip rakyatmerdeka.com, Kamis, 17 Juni 2010.
Kemudian Tifatul membuat analogi demikian, bagi Islam, orang yang mirip Nabi Isa itu yang disalib. Sementara umat Nasrani menganggap, Yesus itu sendiri yang disalib. Karena perbedaan ini kemudian berimplikasi panjang di antara kedua agama tersebut sampai sekarang. (http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2010/06/17/96230/HEBOH-VIDEO-ARIEL--Ngebet-Buka-Topeng-Ariel-Cs,-Tifatul-Bawa-bawa-Nabi-Isa-Dan-Jesus!)
Apa sebenarnya dasar pemikiran Bapak Menteri satu ini? Menganalogikan peristiwa amoral dalam kasus video porno itu dengan keyakinan suatu agama sama sekali tidak bijaksana. Bahkan bisa sangat berbahaya.
Sebagai seorang intelektual dan seorang pejabat tinggi selevel menteri dia seharusnya lebih dari tahu bahwa penganalogiannya itu sangat tidak tepat dan menyinggung perasaan umat Kristen.
Bagaimana bisa dia menganalogikan suatu peristiwa yang sangat diyakini umat Kristen sebagai paling sakral, yakni penyaliban Yesus Kristus dengan peristiwa amoral dalam video porno itu?
Bagaimana kalau ada yang menganalogikan video porno tersebut dengan keyakinan dalam agama Islam? pasti akan menimbulkan kehebohan. Kecaman, intimidasi, dan sejenisnya, yang saya yakin salah satunya akan datang dari yang namanya Tifatul Sembiring ini.
Apakah pernyataan ini bertolak dari pola pikir yang sektarian?
Penyaliban Yesus sampai pada kebangklitanNya merupakan peristiwa paling sakral (nomor satu) dalam keimanan Kristiani. Bahkan jauh lebih penting daripada Natal. Penyaliban merupakan implikasi penebusan dosa umat manusia oleh Yesus, Kebangkitan merupakan bukti Yesus telah menaklukkan maut. Tanpa kedua peristiwa tersebut tidak mungkin agama Kristen ada.
Jadi, dapat dimengerti kalau sampai ada umat Kristen yang terluka hatinya dengan pernyataan Bapak Menteri ini.
Bagaimana kalau sampai ada yang memakai analogi Menkominfo ini dengan melanjutkan pemikirannya demikian: Bagaimana kalau yang dianggap mirip itu ternyata memang asli? Berarti yang bilang mirip itu yang salah? Dengan kata lain, berarti yang meyakini Yesus benar yang disalibkan itu yang benar, sedangkan yang bilang mirip itu yang salah?
Efek dari pernyataan Tifatul, bisa akan menimbulkan debat dan argumen-argumen seperti ini dengan segala dampak dan konsekuensi yang negatif tak perlu terjadi.
Kita juga patut bertanya kepada Tifatul, apakah benar adanya perbedaan keyakinan tersebut telah menimbulkan masalah panjang antara umat Kristen dengan umat Islam?
Dalam sejarah tidak pernah kita mendengar adanya masalah atau implikasi dari perbedaan keyakinan ini. Ataukah Bapak Menteri sengaja hendak menciptakan implikasi tersebut di dalam kehidupan warganegaranya yang sudah hidup cukup rukun selama ini?
Tifatul harus lebih dari tahu bahwa persoalan keyakinan dalam beragama (faith) adalah urusan masing-masing individu dengan Tuhannya. Dengan cara berdebat, atau cara apapun, tidak mungkin keimanan seseorang terhadap agamanya dipaksa untuk juga diyakini oleh penganut agama lain, apalagi kalau keyakinan itu bertentangan antara satu dengan yang lain.
Dengan dasar pemahaman itulah selama ini sebenarnya yang terjadi di dalam masyarakat kita adalah adanya damai dan kerukunan umat berbeda agama. Karena perbedaan keyakinan tersebut tidak mereka bawa-bawa dalam interaksi sosial antara satu dengan yang lainnya. Bahkan sebaliknya, saling menghormati, saling bersilaturahmi, gotong-royong dalam membangun rumah ibadah, saling mengucapkan selamat dan saling mengunjungi ketika hari-hari besar masing-masing umat tiba, dan seterusnya.
Konflik justru kerapkali muncul dari pernyataan-pernyataan dan tindakan-tindakan dari para tokoh masyarakat tertentu, dari elit politik tertentu, dari pejabat tertentu, yang mirip dengan apa yang dinyatakan oleh Tifatul Sembiring ini. Tidak berlebihan kalau ada yang menafsirkan bahwa pernyataan Tifatul ini bernuansa provokatif.
Syukur bahwa rakyat Indonesia semakin lama semakin dewasa dalam berpikir, bertutur, dan berperilaku ketimbang para elit politik dan pejabat (tinggi)nya.
Apabila Tifatul benar-benar berjiwa negarawan sejati, yang salah satu unsurnya bertutur dan berperilaku mempersatukan semua warganegara, dia seharusnya segera menyadari kesalahan fatalnya tersebut. Kemudian segera menarik kembali pernyataannya tersebut dan meminta maaf kepada rakyat Indonesia.
Apakah dia akan melakukan itu? Rasanya akan sangat sulit. Karena selama tidak ada budaya pejabat kita yang merasa bersalah, apalagi sampai minta maaf kepada rakyatnya.
Namun tanpa meminta maaf pun, saya yakin umat Kristen tidak akan mempermasalahkan pernyataan tersebut terlalu jauh. Karena pernyataan seperti itu tidak akan pernah bisa mempengaruhi keyakinan umat Kristen, dan kalau pun sampai tersinggung, Tifatul telah dimaafkan.
Hanya saja peristiwa ini merupakan suatu ironi contoh perilaku yang sangat
buruk yang telah diberikan seorang pejabat menteri kepada warganegaranya.***
Pak' Tifatul" Tuhan Yesus memberkatimu,....
Referensi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar