DIKUTIP dari Buku "Hendaklah kamu
takut kepada Allah", Perjalanan HKBP Ressort Menteng Lama pada dari
tahun 1959 sampai 2009, Halaman 44 - 58
Pengantar
Secara historis berdirinya sebuah jemaat atau
gereja tidak jauh berbeda dengan berdirinya sebuah huta. Sebagaimana diketahui huta adalah organisasi yang paling tua dalam sejarah
kehidupan masyarakat Batak. Sebagai sebuah kelompok otonom yang memiliki sistem
keanggotaan yang terikat dan tertutup huta adalah kelompok yang terpisah dengan huta lainnya. Faktor pengikat yang mempersatukan sesama
anggota huta umumnya adalah faktor genealogis atau hubungan darah. Tetapi, ada juga
ikatan emosional yang terbentuk karena kesamaan kepentingan, perasaan atau
cita-cita.
Ada beberapa cara terbentuknya sebuah huta.
Pertama, cara biasa atau normal. Misalnya,
sebuah keluarga baru dipajae atau disuruh mandiri oleh orang tuanya, yakni
dengan membuka perkampungan (huta) yang baru di luar komunitas (huta)
dimana dia tinggal sebelumnya. Kedua,
ada juga akibat perselisihan atau
konflik diantara sesama penghuni huta atau dengan pemimpin huta yang disebut raja huta lalu kemudian sebagian penghuni huta keluar dan membentuk huta baru. Ada juga karena kesamaan kepentingan dan
cita-cita, misalnya sekelompok orang membuka ladang persawahan baru lalu
kemudian mendirikan huta di wilayah persawahan tersebut.
Fenomena berdirinya huta sama halnya dengan HKBP.
Sebagian jemaat HKBP berdiri karena kebutuhan. Prosesnya secara wajar melalui
sebuah perencanaan dan persiapan. Tetapi, ada juga jemaat yang berdiri karena
"terpaksa", sebagai pilihan atau bentuk penyikapan atas terjadinya
konflik di antara sesama anggota jemaat. Sebagian lagi jemaat terbentuk sebagai
bentuk protes atau perlawanan terhadap kebijakan pimpinan yang tidak dapat
diterima oleh anggota jemaat.
Berdirinya sebuah kelompok
apakah itu huta, jemaat atau apapun namanya karena konflik mungkin pada masanya sangat
disayangkan bahkan mungkin menyakitkan. Namun, di sisi lain, terlepas dari
dampak negatif yang ditimbulkannya, berdirinya organisasi sempalan tersebut
dapat dipahami sebagai sebuah kanalisasi yang mengurangi kadar konflik di tubuh
organisasi asal. Dalam kasus HKBP, walaupun kita tidak pernah mensyukuri,
munculnya jemaat-jemaat baru yang dipicu oleh karena konflik pada kenyataannya
telah mempercepat perkembangan HKBP di kemudian hari.
Sebagaimana dikemukakan
sebelumnya, berdirinya punguan parmingguan Menteng di Adhuc Stat pada tanggal 25 September 1955
selain telah mempermudah anggota jemaat yang berdomisili di sekitarnya untuk
beribadah juga telah menambah jumlah huria pagaran di HKBP Ressort Kernolong
Jakarta. Demikianlah dari waktu ke waktu jumlah anggota jemaat maupun jumlah parmingguan di Jakarta bertambah dan
semakin meluas seiring dengan perkembangan dan persebaran tempat tinggal
orang-orang Batak ketika itu.
Setelah lebih kurang empat
tahun berlangsung punguan parmingguan di Adhuc Stat, atas prakarsa
beberapa orang anggota jemaat yang bermukim di sekitar daerah Menteng Atas dan
Guntur maka pada tanggal 8 Februari 1959 berdiri punguan parmingguan yang
baru bertempat di gedung sekolah di Jl. Sindoro, Guntur. Mayoritas pemrakarsa parmingguan baru tersebut adalah anggota
jemaat yang sebelumnya beribadah di Adhuc Stat.
Sebagaimana dikemukakan dalam Pengantar di atas, bahwa proses berdirinya
sebuah komunitas baru dipengaruhi oleh adanya faktor-faktor pencetus. Misalnya,
karena sebuah kebutuhan. Proses berdirinya sebuah komunitas karena kebutuhan,
adalah hal yang wajar dan normal. Selain karena kebutuhan mungkin juga
berdirinya sebuah komunitas sebagai pilihan atau jalan keluar atas
ketidakpuasan dan kekecewaan.
Akan halnya punguan parmingguan di Jl. Sindoro terbentuk
sebagai bentuk perlawanan atau protes terhadap keputusan sinode ressort tanggal
26 Januari 1959 yang memberhentikan salah seorang Parhalado yang aktif membantu pelayanan
baik di HKBP Kernolong maupun di punguan parmingguan Adhuc Stat. Keputusan yang diumumkan
melalui warta jemaat Minggu tanggal 1 Februari 1959 di semua huria yang masuk
ke ressort HKBP Kernolong tersebut telah menimbulkan pro-kontra di kalangan
anggota jemaat terutama yang beribadah di punguan parmingguan di Adhuc Stat. Selain karena yang
bersangkutan tidak diberi kesempatan untuk membela diri keputusan sinode
ressort tersebut juga dianggap bertentangan dengan peraturan HKBP.
Makanya, begitu selesai ibadah Minggu, 1 Februari 1959 beberapa anggota
jemaat berkumpul membicarakan keputusan sinode tersebut. Mereka sepakat untuk
menyikapi dengan mengirimkan surat ke kantor pusat HKBP ditandatangani oleh
sebanyak 28 orang. Selain menolak keputusan sinode ressort tanggal 26 Januari
1959 para penandatangan juga memberitahukan bahwa terhitung sejak hari Minggu,
8 Februari 1959, mereka tidak lagi beribadah di HKBP Kernolong atau di Adhuc Stat tapi akan membuka parmingguan sendiri di gedung sekolah Jl.
Sindoro yang langsung berinduk ke pusat, tidak lagi masuk ke ressort Jakarta
Kernolong.15
Dalam hal ini, keputusan
sinode yang dianggap tidak adil telah menjadi faktor pendorong atau pencetus
ide untuk mendirikan sebuah jemaat yang baru. Walau dalam hal ini keputusan
untuk langsung menginduk ke pusat tentu saja tidak sesuai dengan ketentuan organisasi HKBP
yang secara struktural berjenjang dari tingkat huria ke ressort kemudian distrik lalu kantor pusat HKBP.
Pemrakarsa parmingguan
di Jl. Sindoro tersebut, antara
lain terdiri dari : 1. St. Gr. A. Silalahi; 2. St. Johanes Tambunan; 3. St. M.
Gultom; 4. G. Sormin; 5. L. Hutapea; 6. Alaan Harahap; 7. Sutan Batara Ritonga;
8. A. F. Gultom; dan J.M. Sitinjak.16
Perlu dikemukakan, salah seorang
anggota jemaat yang ikut dalam ibadah pertama pada tanggal 8 Februari 1959 di
Jl. Sindoro adalah St. Dr. V.S. Ritonga, saat ini sebagai Anggota Bidang
Sejarah Panitia Jubileum 50 Tahun HKBP Menteng Lama.
Lebih kurang satu minggu
berselang setelah mereka melayangkan surat protes, pada tanggal 15 Februari
1959 jemaat parmingguan Jl. Sindoro mendengar bahwa kantor pusat HKBP telah
mencabut keputusan sinode ressort tanggal 26 Januari 1959 sekaligus
merehabilitasi kembali status Parhalado yang bersangkutan untuk melayani di
tengah-tengah jemaat.
Namun, sekalipun kantor pusat
mencabut keputusan sinode ressort yang mereka tolak, mereka tidak lalu
membubarkan punguan parmingguan yang telah mereka prakarsai. Hal tersebut karena
kantor pusat memberikan pilihan kepada jemaat yang baru tersebut apakah kembali
ke punguan parmingguan di Adhuc Stat atau tetap di punguan parmingguan baru di Jl. Sindoro.
Lokasi Jalan Sindoro berdekatan
dengan Jalan Kencana, Jalan Muria, dan Jalan Guntur yang pada saat itu menjadi
salah satu daerah konsentrasi pemukiman orang Batak di Jakarta. Punguan
parmingguan baru tersebut telah memudahkan mereka beribadah. Tempat ibadah telah
semakin dekat ke tempat mereka tinggal, tidak lagi harus jauh-jauh ke Kernolong
ataupun ke Adhuc Stat. Makanya, punguan parmingguan Jl. Sindoro berkembang pesat terutama dalam hal
jumlah anggota jemaat.
Selang satu minggu sebelum punguan
parmingguan di Jalan Sindoro
berdiri, berlangsung Sinode HKBP Distrik IX Jawa-Kalimantan di Palembang dari
tanggal 29 Januari hingga 2 Februari 1959. Palembang, waktu itu, masih menjadi
bagian dari distrik Jawa Kalimantan. Sebenarnya, selama sinode berlangsung
tidak ada hal yang terlalu istimewa untuk dicatat karena semua acara
berlangsung dengan baik hingga pada hari penutupan sinode, termasuk acara
pemilihan pimpinan distrik.
Sebagaimana diketahui salah satu keputusan sinode distrik Palembang ialah
terpilihnya Pdt. K. Simatupang, S.Th. sebagai Praeses HKBP Distrik IX Jawa
Kalimantan menggantikan Pdt. M. Pakpahan serta terpilihnya St. J.K. Panggabean
sebagai kerkbestuur distrik
IX bersama pengurus-pengurus distrik lainnya. Hasil sinode distrik tersebut
kemudian disahkan oleh Pucuk Pimpinan HKBP dengan Surat No. 478/9 tanggal 10
Maret 1959 serta oleh sinode godang HKBP yang berlangsung di
Pematang Siantar dari tanggal 23 hingga 24 Juli 1959.
Namun, sangat disayangkan paska sinode Palembang timbul persoalan. Dan,
persoalan yang menimbulkan perpecahan tersebut secara tidak langsung
mempengaruhi perkembangan punguan parmingguan Jalan Sindoro di kemudian
hari. Sebagaimana diketahui, pemicu persoalan waktu itu adalah oknum peserta
Sinode yang di kemudian hari menolak serta melakukan upaya-upaya menggerogoti
hasil sinode distrik yang sudah disahkan oleh pucuk pimpinan HKBP bahkan sinode godang.
Atas penolakan tersebut, kemudian kantor pusat HKBP mengirimkan sebuah
delegasi ke Distrik IX Jawa Kalimantan. Namun, alih-alih menyelesaikan masalah
kehadiran delegasi tersebut malah menimbulkan persoalan bahkan perpecahan. Dan,
perpecahan yang terjadi kemudian tidak lagi sebatas di lingkungan Distrik IX
Jawa Kalimantan akan tetapi berimbas ke luar Distrik IX hingga kantor pusat
HKBP.
Episode kemelut tersebut
semakin berkepanjangan serta memprihatinkan karena tidak terlihat upaya pendekatan
yang mengarah ke penyelesaian persoalan.
Sikap otoriter yang dipertontonkan oleh delegasilah yang semakin mempertajam
pertentangan. Karena, pihak-pihak atau huria yang tidak menerima lalu melakukan
penolakan bahkan perlawanan. Konflik pun kian meluas dan diketahui oleh jemaat-jemaat
di luar Distrik IX.
Sementara itu, Sinode Godang HKBP, selaku instansi
tertinggi di HKBP, yang berlangsung dari tanggal 18-25 Maret 1961 di Pematang
Siantar telah mengambil keputusan, sbb.: a. Sinode Godang menugaskan
Kerkbestuur/PraGses
(pucuk pimpinan HKBP) untuk mengadakan penyelesaian yang baik mengenai
persoalan-persoalan di Distrik IX dalam waktu secepat-cepatnya, sedapat mungkin
sebelum Jubileum 100 tahun HKBP tanggal 7 Oktober 1961. b. Kerkbestuur I Praeses
harus mempertanggung-jawabkan tentang penyelesaian yang baik itu kepada Sinode Godang HKBP
tahun 1962.
Namun, hingga menjelang Sinode Godang 1962 ternyata penyelesaian yang
diharapkan tidak kunjung terwujud. Sehingga, berdatanganlah desakan dari
berbagai pihak kepada Pucuk Pimpinan HKBP di Pearaja Tarutung supaya segera
menyelesaikan persoalan di Distrik IX. Desakan tersebut disertai dengan
pernyataan sikap yang akan mereka tempuh apabila Pucuk Pimpinan HKBP gagal
mengusahakan penyelesaian.
Untuk mengakhiri kemelut keluarlah diktum Kerkbestuur/ Praeses tertanggal 15 Juni
1962. Diktum tersebut sebenarnya tidak menyinggung apapun tentang akar kemelut
serta langkah-langkah penyelesaian yang ditempuh untuk meredakan persoalan.
Inti penyelesaian yang tercantum dalam diktum adalah, demi "hasadaon dohot pasadahon" HKBP
maka segala surat-surat yang bersifat ketetapan dan pernyataan dan yang lain
sehubungan dengan kemelut yang terjadi di Distrik IX dengan ini dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku lagi.17
Setelah mendengar nasehat dari pelbagai pihak yang mencintai keutuhan
HKBP demikian pula hasrat Sinode Godang serta demi kelancaran
pelayanan HKBP di bona pasogit dan di seluruh tanah air, maka
diktum tersebut pun kemudian diterima dan ditandatangani oleh para pihak.
Sebuah aksioma dalam setiap timbul persoalan, bahwa di kalangan pihak
atau kelompok yang sepaham akan muncul solidaritas yang kuat dan perasaan
sepenanggungan. Hukum itulah yang berlaku dalam punguan parmingguan Jalan
Sindoro dalam hubungannya menghadapi kemelut paska sinode Palembang. Sikap
jemaat punguan parmingguan Jalan
Sindoro yang tetap mengakui serta mempertahankan keputusan sinode Palembang,
mendapat apresiasi dari para pengurus distrik yang terpilih, khususnya St. J.K.
Panggabean dan Pdt. K. Simatupang.
Dukungan kedua tokoh tersebut bersinergi dengan upaya kelompok pemrakarsa
telah membawa punguan parmingguan Jalan Sindoro berkembang
dengan begitu cepat ke hari peresmian menjadi sebuah jemaat resmi.
Demikianlah pada tanggal 3 Oktober 1959 terbentuk panitia dan atas nama
jemaat mengirimkan surat kepada Praeses Distrik IX Jawa-Kalimantan, yang juga
sebagai Pendeta HKBP Ressort Kernolong Jakarta, Pdt. K. Simatupang. Isinya
meminta persetujuan sekaligus permohonan untuk meresmikan punguan parmingguan Jalan
Sindoro menjadi gereja resmi (huria na gok).
Dalam salah satu paragrap surat yang, atas nama panitia, ditandatangani
oleh J.M. Sitinjak dan A.F. Gultom tercantum dasar pertimbangan panitia sebagai
berikut : "Sehubungan dengan Warta Jemaat gereja kita, khususnya mengenai
telah bertambahnya huria pagaran di Jakarta : Rajawali, Petojo,
dll. kami yang bertanda tangan di bawah ini memohon persetujuan untuk
berdirinya sebuah huria pagaran yang baru, bernama : Huria HKBP Menteng Lama Jakarta.18
Selain mencantumkan daftar susunan panitia juga terlampir daftar anggota
jemaat yang mendukung dengan tanda tangan berjumlah sebanyak 61 keluarga yang
umumnya bertempat tinggal di daerah Menteng Atas dan Guntur. Susunan panitia
pendirian HKBP Menteng Lama, terdiri dari:
Ketua : J.M. Sitinjak, Jl.
Muria No. 22.
Sekretaris : A.F. Gultom, Jl.
Guntur No. 27.
Anggota :
- V.L. Simanjuntak, Jl. Malabar 71
- Sutan B. Ritonga, Menteng Atas
- L. Hutapea, Jl. Guntur No. 55
- J. Tambunan, Jl. Lawu No. 1
- A. Harahap, Jl. Kencana No. 33
- M. Gultom, Jl. Gembira No. 22
- Joh. Tambunan, Jl. Ungaran No. 14
Hanya dalam waktu lebih kurang 3 (tiga) minggu dari tanggal surat
permohonan, surat persetujuan dari pucuk pimpinan HKBP telah sampai kepada
panitia. Dengan mengacu pada surat kawat (telegram) yang berisi persetujuan
dari Ephorus HKBP,19 maka Praeses HKBP Distrik IX mengeluarkan surat
persetujuan peresmian Nomor 247/ Pr/59 tertanggal 27 Oktober 1959.
Setelah persetujuan pucuk pimpinan HKBP diterima, maka panitia segera
menentukan tanggal peresmian. Tanggal yang disepakati adalah hari Minggu, 1
November 1959. Pada tanggal tersebut, yang kemudian diperingati setiap tahun
sebagai hari ulang tahun HKBP Menteng Lama, Praeses HKBP Distrik IX Jawa
Kalimantan Pdt. K. Simatupang meresmikan punguan parmingguan yang sebelumnya di Jalan Sindoro menjadi sebuah
gereja atau huria na gok bernama HKBP Menteng Lama dengan St. M. Gultom
sebagai Wakil Guru Huria.20 Upacara dan ibadah peresmian tersebut berlangsung
di Aula CPM Jalan Guntur.
Persis pada hari peresmian St. J.K. Panggabean, Kerkbestuur
HKBP Distrik IX Jawa-Kalimantan
dan parhalado di HKBP Kernolong
menulis surat permohonan pindah bersama keluarga menjadi anggota jemaat yang
baru di HKBP Menteng Lama. Permohonan tersebut segera disetujui oleh parhalado. Dan, St. J.K. Panggabean juga
diterima sebagai anggota parhalado.21
Dua bulan kemudian, yakni pada bulan Januari 1960 pimpinan HKBP
mengangkat Pdt. Godfried Sitompul, seorang pendeta muda yang baru lulus dari
STT Proklamasi Jakarta, menjadi Wakil Pendeta HKBP Ressort Kernolong Jakarta
dan ditugaskan khusus untuk melayani jemaat yang baru HKBP Menteng Lama. Pdt.
Godfried Sitompullah pendeta pertama yang melayani di jemaat ini hingga ia
dipindahkan ke HKBP Padang pada bulan Agustus 1962.22
Paska kepindahan Pdt. Godfried Sitompul, cukup lama jemaat ini tidak
memiliki pendeta pelayan tetap. Baru pada bulan Oktober 1970 Pdt. M. Pakpahan
ditetapkan menjadi pendeta tetap yang melayani jemaat ini bersamaan dengan
peresmian HKBP Menteng Lama sebagai jemaat persiapan ressort.
Selama tidak memiliki pendeta pelayan tetap, tercatat nama beberapa tokoh
gereja tetangga yang membantu pelayanan di HKBP Menteng Lama, antara lain Pdt.
C. Kainama, Pdt. Rompas, Pdt. R.M. Luntungan, Pdt. W.J. Rumambi, Prof.DR.
Latuihamalo, Prof.DR. J.L. Ch. Abineno, Pdt. M. Abednego, dan lain-lain.
Berpindah-pindah
Karena masa kontrak Aula CPM Guntur sudah habis dan kebetulan gedung
tersebut akan direnovasi, maka pada tanggal 2 Juli 1961 jemaat HKBP Menteng
Lama pindah ke Aula STT Jalan Proklamasi No. 27, Jakarta. Selang 2 (dua) bulan
kemudian, Minggu 3 September 1961 dari Aula STT pindah lagi ke gedung Sekolah
Guru Taman Kanak-kanak (SGTK) Negeri di Jalan Halimun No. 2 Jakarta. Lebih
kurang 2 (dua) tahun lamanya jemaat HKBP Menteng Lama melaksanakan kebaktian di
gedung sekolah tersebut.
Pada tanggal 5 Maret 1963 Kantor Pusat HKBP Pearaja Tarutung mengeluarkan
Surat Keputusan Nomor 568/20-78/P/K-IV/63, mengangkat Gr. J.K. Panggabean
menjadi Guru Huria pada HKBP Menteng Lama terhitung sejak 1 Februari 1962.
Surat tersebut diberi catatan : Jabatannya dianggap sebagai Wakil Guru Huria
sesuai Aturan Huria B.II; 1225.23
Sesuai Aturan ada 2 (dua) pengertian Guru Huria pada saat itu. Pertama,
seseorang yang menerima tahbisan sebagai "Guru Huria" karena lulusan
Sekolah Guru Huria (SGH) Sipoholon. Kedua, jabatan struktural yaitu seseorang
yang diangkat menjadi pimpinan jemaat, dan biasanya disebut "Wakil Guru
Huria".
Lahirnya surat yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal HKBP Ds. G.
Siahaan atas nama Ephorus HKBP tersebut tak urung telah menimbulkan dualisme
kepemimpinan di HKBP Menteng Lama. Terlebih, karena Kantor pusat HKBP sama
sekali tidak menyinggung tentang kedudukan St. M. Gultom yang pada tanggal 1
November 1959 sebelumnya telah menjadi Wakil Guru Huria bersamaan dengan
peresmian jemaat HKBP Menteng Lama oleh Praeses Distrik IX Jawa Kalimantan.
Perbedaan sikap atas keputusan kantor pusat tersebut pun terjadi baik di
kalangan Parhalado maupun di kalangan ruas. Padahal, sebelumnya jemaat bersama
seluruh Parhalado sangat kompak baik menyangkut hal-hal yang bersifat intern
maupun dalam menghadapi masalah yang datang dari luar jemaat. Dapat dikatakan
bahwa HKBP Menteng Lama saat itu sangat diperhitungkan di lingkungan HKBP
maupun di lingkungan gereja tetangga.
Upaya penyelesaian pun dicoba ditempuh. Dibentuklah Panitia 12, sebuah
panitia yang terdiri dari para penatua HKBP Menteng Lama bersama-sama Pdt. R.J.
Tambunan, Pendeta Ressort HKBP Kebayoran. Namun sayang, sebab sekalipun telah
bekerja beberapa bulan panitia tersebut tidak membuahkan hasil.24
Karena upaya penyelesaian yang berlarut-larut, maka pada akhirnya sejak tanggal 6
Oktober 1963 sebagian parhalado dan jemaat bersama St. M.
Gultom pindah ke Jl. Gembira No. 22. Sementara, sebagian lagi jemaat dan
parhalado bersama-sama Gr. J.K. Panggabean tetap beribadah di SGTK Negeri Jalan
Halimun No. 2. Dalam perkembangan selanjutnya, hingga sekarang, jemaat yang dipimpin
oleh St. M. Gultom disebut HKBP Menteng Lama Jalan Gembira25 yang
pada tahun 1965 pindah menjadi pagaran (menginduk ke) HKBP Ressort Kernolong
Jakarta. Sementara, jemaat yang dipimpin oleh Gr. J.K. Panggabean disebut HKBP
Menteng Lama Jalan Halimun26 dan sesuai keputusan Sinode Godang HKBP27
tetap berressort ke HKBP Kebayoran.
Selang 2 (dua) tahun sejak menempati gedung SGTK pada tanggal 5 Oktober
1963 panitia yang dipimpin oleh Gr. J.K. Panggabean membeli sebidang tanah
seluas 2.226 M2 berikut bangunan tua, bekas N. V. Bataviasche Model Boerderij, terletak
di Jalan Halimun No. 2A (lokasi HKBP Menteng Lama yang sekarang-pen). Hanya
dalam waktu 2 (dua) bulan Wakil Ketua Panitia Pembangunan, Arsitek J.M.
Sitinjak, berhasil membangun gedung gereja darurat di atas tanah itu. Sehingga,
pada permulaan bulan Desember 1963 anggota jemaat telah dapat mempergunakan
bangunan tersebut sehingga perayaan natal dapat berlangsung dengan lebih hikmat
di bangunan gereja yang sederhana itu.28*
Catatan:
1. Sitor Situmorang, Toba
Na Sae, Jakarta, Komunitas Bambu, 2004,
hlm. 4. Tentang pengaruh dunia luar terutama Hindu Islam terhadap tanah Batak
sekitar abad ke-I 1 baca Lance Castles: Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di
Sumatera: Tapanuli 1915 - 1940, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, 2001,
hlm. 4-6.
2. Terlepas dari berbagai dampak negatif yang timbul
akibat penaklukan tanah Batak oleh tentara Belanda, namun kehadiran bangsa lain
(sibontar mata) di tanah Batak telah membuka kesadaran warga masyarakat tentang
nilai-nilai modern yang melekat dalam diri mereka seperti cara berpakaian, pola
hidup bersih dan lain-lain termasuk akibat pembangunan prasarana militer dan
ekonomi kolonial yang dampaknya dan sisa-sisanya masih terasa sampai sekarang.
3. Jaringan jalan tersebut kemudian dikenal dengan
jalan trans Sumatera. Opcit, hlm. 9.
4. Hingga dekade 80-an, orang Batak yang keluar dari
locus tanah Batak pergi ke daerah lain disebut merantau (mangaranto). Namun,
belakangan istilah popular tersebut tidak lagi dipergunakan karena dianggap
tidak sesuai dengan konsep negara kesatuan (NKRI) yang menganut faham kesatuan
teritorial dari Sabang hingga Merauke adalah 'kampung" dan tumpah darah
bersama, sehingga tidak ada orang yang merantau di kampungnya (baca: negaranya)
sendiri.
5. Pembangunan usaha perkebunan di Deli, Sumatera
Timur oleh Belanda pada tahun 1863, misalnya, telah menarik minat orang Batak
untuk bermigrasi dan bekerja di perusahaan tersebut.
6. Dr. J. Sihombing, 1861-1961, Saratus Taon Huria Kristen
Batak Protestan, hlm. 65.
7. Terpanggil Menjadi Garam Dunia, 50 Tahun HKBP Menteng Jalan Jambu, Jakarta
Dalam Perjalanan Pelayanannya, 25 September 1955 - 25 September 2005. Dr.
P.T.D. Sihombing, M.Sc.,S.Pd., bekerja sama dengan Panitia Pesta Jubileum 50
Tahun HKBP Menteng, hlm. 49.
8.
Dikutip secara lengkap dari buku Sejarah Perkembangan HKBP Distrik VIII
Jawa Kalimantan, diterbitkan oleh Panitia Perayaan HUT 66 HKBP Distrik VIII
Jawa- Kalimantan, Jakarta,2006, hlm. 11-17.
9.
Garis besar perjuangan M.H. Manullang dalam perkembangan gereja dan
politik kebangsaan, dapat dibaca dalam buku Sitor Situmorang, Toba
Na Sae (Jakarta: Komunitas Bambu,
2004, hlm. 458-464)
10.
Menurut berbagai catatan sejarah pada tahun 1919 persekutuan
orang-orang Kristen Batak di Jakarta belum bernama HKBP akan tetapi Huria
Kristen Batak (HKB)
11.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Sinode Godang Tahun 1940 baca :
Sinode Godang Yang Pertama Ditangguhkan, oleh Rahman Tua Munthe, Majalah Bona
Ni Pinasa, Edisi Juni 1992, hlm. 18-20.
12.
DR. T.S. Sihombing, Hot Hamu Jongjong,
hlm. 27.
13.
Buku Jubileum 125 Tahun HKBP (1861 - 1986), diterbitkan oleh Panitia
Jubileum 125 Tahun HKBP Wilayah III, hlm. 95.
14.
Baca "Sejarah Jemaat HKBP Kebayoran Baru 1951 -1986",
diterbitkan dalam rangka perayaan Jubileum 125 tahun HKBP, 1986, hlm. 14.
15.
Baca "Profil HKBP Distrik XXI Jakarta-3. Diterbitkan oleh HKBP
Distrik XXI Jakarta-3, Tim Penyusun Ir. Mika P.L. Tobing, et.al, Jakarta 2008,
hlm. 67.
16.
Baca tulisan "Latar Belakang Lahirnya HKBP Menteng Lama",
tulisan lepas tidak dipublikasikan, oleh St. Drs. F.M. Tambunan, 1996, hlm. 1.
17.
Selengkapnya baca surat Kantor Besar HKBP No. 2924-b/20A./Del./B 11-62
tanggal 28 Oktober 1962 yang ditujukan kepada : 1. Seluruh huria di Ressort
HKBP Jakarta/Kalimantan 2. Huria HKBP Menteng Lama 3. Praeses HKBP Distrik IX
Jawa Kalimantan.
18.
Selengkapnya baca surat jemaat yang diwakili oleh Panitia Parjongjong
Huria Pagaran HKBP Menteng Lama, tertanggal 3 Oktober 1959.
19.
Selain kepada Praeses Distrik IX Jawa Kalimantan, jemaat yang baru
tersebut juga mengirimkan surat yang sama kepada pucuk pimpinan (Ephorus) HKBP.
Baca Susunan Acara Peresmian HKBP Menteng Lama, Tanggal 1 November 1959.
20. Baca
Surat J.K. Panggabean tanggal 1 November 1959 yang ditujukan kepada Parhalado
HKBP Menteng Lama dan surat jawaban Parhalado tanggal 9 November 1959.
21. Baca"Sejarah
Singkat Gedung Gereja HKBP Menteng Lama Jl. Halimun No. 8", Buku Acara
Pentahbisan & Peresmian Gereja HKBP Menteng Lama Ressort Menteng Lama,
Minggu, 3 November 1991, hlm. 18.
22. Baca
surat Kantor Besar HKBP Nr. 568/20-78/P/K-IV/63, tanggal 5 Maret 1963 yang juga
ditembuskan kepada beberapa pejabat struktural di HKBP.
23. Surat
tertanggal 19 September 1963 yang ditandatangani oleh 13 orang penatua HKBP
Menteng Lama ditujukan kepada Pdt. R.J. Tambunan sedikit banyak dapat
menggambarkan situasi yang terjadi pada saat itu.
24. Sebenarnya
Sinode Godang HKBP Tahun 1964 telah memutuskan bahwa jemaat yang dipimpin oleh
St. M. Gultomlah yang disebut Menteng Lama, sementara jemaat yang dipimpin oleh
Gr. J.K. Panggabean supaya dicarikan namanya yang lain. Akan tetapi, keputusan
tersebut tidak efektif di lapangan karena kedua jemaat tersebut tetap memakai
nama Menteng Lama dan tidak pernah dipersoalkan oleh pimpinan HKBP. Lihat
Almanak HKBP tahun 2009 hlm. 407.
25. Lihat
Almanak HKBP Tahun 2009, hlm. 311.
26. Salah
satu keputusan Sinode Godang HKBP Tahun 1964 ialah, "bahwa baik jemaat
yang dipimpin oleh St. M. Gultom maupun jemaat yang dipimpin oleh Gr. J.K.
Panggabean masuk ke Ressort Kebayoran." Hal yang sama juga dipertegas oleh
Surat Praeses HKBP Distrik IX Jawa Kalimantan tanggal 9 Desember 1964. Namun,
kenyataan di lapangan keputusan tersebut tidak efektif karena pada tahun 1965
jemaat yang dipimpin oleh St. M. Gultom menyatakan diri masuk ke Ressort
Jakarta Kernolong. Sementara, jemaat yang dipimpin oleh Gr. J.K. Panggabean
tetap di Ressort Kebayoran.
27. "Sejarah
Singkat Gedung Gereja HKBP Menteng Lama Jl. Halimun No. 8", op. cit. hlm.
18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar