Rabu, 25 Mei 2016

Tantangan HKBP Menteng Lama sebagai Gereja Kota dan Jemaat Metropolitan

HKBP Menteng Lama dengan masa pelayanannya 56 tahun sejak peresmiannya pada tanggal 1 November 1959 di tantang sebagai Gereja Kota atau Jemaat Metropolitan. Kenyataan yang terjadi dengan bertambahnya masa pelayanan yang dilakukan dapat dikatakan jumlah jemaat semakin tahun terus menurun, hal ini menjadi tantangan tersediri bagi evaluasi pelayanan yang dilakukan Jemaat, Parhalado dan Pendeta di tengah-tengah masyarakat khususnya untuk Suku Batak Toba yang merantau di Metropolitan ini.
"Naposo sebagai Bunga-Bunga Gereja Penerus Generasi"


Banyak faktor penyebab hal ini terjadi, lokasi gereja yang benar-benar berada ditengah-tengah kota mengakibatkan meningkatnya harga jual tanah sehingga banyak generasi-genarasi keluarga muda yang berahli tempat tinggal ke pinggiran Jakarta, hal ini merupakan salah satu faktor tantangan pelayanan. Menurunya Regenerasi jemaat gereja adalah faktor yang terbesar terlihat, namum masih banyak lagi faktor-faktor yang menjadi tantangan pelayanan di HKBP Menteng Lama.
"Pengaruh Kota Metropolitan tak terlepas dari pembangunan Karakter Generasi Gereja" 

Tulisan oleh Pendeta Daniel T.A. Harahap dengan judul “Memandang Kritis Keberadaan Jemaat-Jemaat HKBP di Kawasan Metropolitan Jakarta sekitarnya” merupakan pembahasan yang tepat sekali bagi HKBP Menteng Lama.

Pengalaman selama 56 tahun perjalanan pelayanan gereja merupakan suatu pengalaman pembelajaran cukup banyak dirasakan bagi gereja yang bertumbuh di Metropolitan.
"Punguan Ama memberikan Contoh dan sebagai tonggak pengerak mengarahkan 
Generasi Muda untuk aktif dalam pelayanan Gereja"  

Selamat membaca tulisan  yang sangat bagus dari Daniel T.A. Harahap yang dikutip dari : http://rumametmet.com/2007/04/15/gereja-kota/ ini, semoga menjadi  penyemangat jemaat HKBP Menteng Lama untuk terus melakukan inovasi dan “reformasi” pelayanan di tengah-tengah jemaat Metropolitan ini.

Apakah Jemaat ingin memperbaharui dan berinovasi pelayanannya, Mari kita mulai....
Bagaimana kalau kita memulainya hari ini juga?

Oleh : Daniel T.A. Harahap

Gelombang urbanisasi atau perpindahan dari desa ke kota orang Batak-Kristen yang terus berlangsung dari dulu sampai sekarang, telah mendorong berdirinya jemaat- jemaat HKBP dalam jumlah yang sangat signifikan di kota-kota besar di luar Tapanuli. Menurut catatan Almanak 2006 di sekitar Jabotabed saja sudah berdiri lebih dari 150 gereja HKBP.

Dalam konteks inilah kita mau mengajukan pertanyaan sejauhmanakah jemaat-jemaat HKBP di metropolitan secara sadar sedang memposisikan dirinya sebagai gereja kota? Yaitu gereja yang sungguh-sungguh sadar dan menghayati dinamika, peluang dan tantangan masyarakat metropolitan? Sejauhmanakah HKBP yang berakar di masyarakat agraris Tanah Batak hampir 150 tahun yang lalu masih relevan dengan kehidupan metropolitan yang sangat keras, majemuk dan moderen?

Mengambil contoh spesifik: gereja HKBP kota atau jemaat HKBP metropolitan ditantang harus dapat menggembalakan warga jemaatnya para eksekutif atau profesional muda, yang tinggal di real estate eksklusif di pinggiran kota, keluar rumah jam lima pagi dan baru bisa kembali ke rumah jam sembilan malam, suami-istri bekerja di tengah kota anak diasuh oleh orang lain, hidup di tengah lingkungan yang cenderung individualistik, liberal, konsumtif dan hedonistic. Pada saat yang sama gereja HKBP kota juga ditantang dapat memperhatikan dan menggembalakan warganya “Batak miskin kota” yaitu mereka yang terpinggirkan dan tersisihkan dalam masyaralat, sebagian besar bertarung mati-matian di sektor transportasi (sebagai supir, kenek, calo, pedagang kaki lima,dan sebagian bahkan menjadi kriminal), dan hidup di tengah pemukiman kumuh yang sangat padat dan tidak sehat. Namun tidak hanya itu, gereja HKBP kota juga ditantang menggembalakan warganya kaum muda yang sudah melompat menjadi anggota komunitas global dengan kultur pop, sangat akrab dengan teknologi informatika dan dunia entertainment, berkomunikasi dengan dwi-bahasa (Indonesia & Inggris), serta selalu dibayang-bayangi godaan dan ancaman penyalahgunaan narkotika.

2. Pelayanan HKBP
Kompleksitas dan kerasnya realitas kehidupan metropolitan membuat banyak orang sangat membutuhkan pelayanan rohani yang spesial, yang bisa membuatnyasurvive dan syukur-syukur bertumbuh secara spiritual di tengah-tengah kehidupan metropolitan yang kompleks dan keras itu. Ibarat orang lapar, warga HKBP metropolitan benar-benar butuh makanan yang enak dan bergizi. Ibarat orang yang sedang stres, mereka butuh hiburan. Ibarat orang yang sakit mereka butuh obat yang mujarab. Ibarat orang yang bingung mereka butuh jawaban tepat dan segera.Pertanyaan sekarang, apakah parhalado dan komunitas gereja HKBP kota atau metropolitan memposisikan dirinya sebagai pelayan restoran rohani, penghibur, dokter, konsultan dan pembimbing rohani bagi warganya yang haus, lapar, lelah, tegang dan bingung itu? Atau, sebaliknya tanpa sadar, tetap saja memposisikan diri sebagai tuan-puan dan pejabat agama yang selalu mesti dihadap, dihormat dan dilayani.

Kita tentu setuju gereja lebih dari sekedar restoran cepat saji, bioskop, apotik, bengkel, atau biro jasa. Namun kita tidak bisa menyangkal fakta bahwa sebagian besar anggota HKBP metropolitan membutuhkan makanan, minuman, obat, hiburan dan jawaban rohani dari HKBP. Jika jemaat-jemaat HKBP di metropolitan ini tidak cukup menyediakan semua itu atau apalagi tidak perduli maka mereka dengan mudahnya akan pergi ke tempat lain yang mereka anggap dapat memberikannya. Dan baiklah kita lebih rendah hati mengakui bahwa kita tidak punya wibawa yang cukup lagi untuk menghalangi anggota HKBP yang pergi ke tempat lain (di luar HKBP) mencari makanan, minuman, obat atau jawaban yang mereka butuhkan.

Sebab itu tidak bisa tidak, gereja HKBP kota tanpa harus mengubah eksistensinya sebagai suatu “persekutuan orang-orang percaya, yang dipanggil dan diutus ke dalam dunia” harus dapat menyediakan semua (minimal sebagian besar) makanan, minuman, obat dan jawaban rohani yang dibutuhkan anggotanya itu. Disinilah kita disadarkan bahwa gereja HKBP harus kembali kepada panggilannya yang sesungguhnya: menjadi pelayan (dan bukan tuan), menjadi alat kesembuhan (dan bukan sumber penyakit), solusi (dan bukan bagian apalagi sumber masalah) bagi anggotanya dan masyarakat luas. Dan hal itu sesuai dengan panggilan gereja abadi dari Tuhan.

3. Renungan Mingguan dan Harian

Daripada cuma mengeluhkan atau menyalahkan anggota gereja yang pergi menjauhi atau meninggalkan HKBP, lebih baik kita mengoreksi diri dengan mengajukan pertanyaan: sebagai gereja kota, pelayanan apakah yang sedang kita berikan kepada warga jemaat kita? Apakah kotbah-kotbah mingguan kita cukup memberi inspirasi dan motivasi kepada jemaat kita bertarung di tengah realitas kota yang keras? Atau jangan-jangan cuma rangkaian kata-kata asing yang diucapkan berapi-api namun pada hakikatnya kurang ada relevansinya dengan kenyataan hidup jemaat masa kini? Sejauhmanakah ibadah-ibadah mingguan kita memberikan bekal bagi warga jemaat kita untuk mengembangkan profesinya sebagai eksekutif, profesional, mahasiwa, buruh dan pedagang dan pengusaha? Atau jangan-jangan cuma cerita masa lalu dari negeri yang jauh yang tidak berdampak kepada masa kini dan mendatang jemaat kita?

Anggota HKBP di metropolitan membutuhkan kotbah atau renungan mingguan yang sungguh-sungguh menghibur, menguatkan, dan membangkitkan inspirasi dan motivasi serta membangun iman dan harapan. Kompleksitas masalah kehidupan yang dihadapi jemaat perkotaan mendorong mereka sangat aktiv mencari pegangan. Kebutuhan ini dibaca dengan baik oleh sebagian gereja kota yang sangat “melek keuangan” yang lantas menawarkan paket-paket penyembuhan. Namun celakanya, sebagian pendeta
HKBP tidak tahu bahwa kotbah adalah urusan hidup-mati bagi gereja kota, dan tanpa rasa bersalah berkotbah sekenanya atau seenaknya. Disini menurut saya tantangan bagi HKBP sangat besar. Di luar ada begitu banyak “kompetitor” yang menawarkan kotbah-kotbah menarik, menggiurkan dan menggoda (sebagian kotbah itu harus kita akui memang membangun, tetapi sebagian lebih mirip obat penenang dosis tinggi, atau obat pembunuh daya kritis dan kreativitas!), sementara di dalam HKBP kotbah biasa-biasa saja atau malah tidak menjanjikan apa-apa. Penulis tidak ingin kita meniru mentah-mentah “pengkotbah selebritis” atau “pendeta pop” dan lantas mengubah kepribadian dan gaya kita (hanya demi mengikuti selera pasar). Yang penulis katakan adalah HKBP harus serius menyediakan kotbah-kotbahnya.

Anggota HKBP di kota juga membutuhkan renungan (pendek) setiap pagi untuk membantu mereka mengawali hidup pribadi dan rumah tangga, bisnis dan profesi mereka. Mereka membutuhkan renungan (pendek) setiap malam untuk merefleksikan pengalaman harian mereka dan menuntun mereka kepada istirahat. Mengapa harus pendek dan sederhana? Sebab waktu mereka sangat sempit dan pekerjaan yang mereka harus lakukan sangat banyak!

Apakah jemaat-jemaat HKBP metropolitan menyediakan sarapan pagi atau makan malam rohani ini? Buku-buku renungan harian yang bertebaran di dekat kasir toko buku bukanlah terbitan HKBP. Namun penulis ketahui ada minimal 2 (dua) jemaat HKBP di Jakarta yang menyediakan renungan harian ini, yaitu: HKBP Rawamangun dan Kernolong. Beberapa radio bersemangat kristiani di Jakarta yang banyak didengar oleh warga jemaat kita, jelas-jelas bukan milik HKBP dan isinya jauh dari teologi HKBP (Kita bersyukur Distrik VIII telah menyewa jam siar salah satu radio selama sejam sekali seminggu untuk menjadi Suara HKBP). Pamflet, brosur, leaflet rohani yang beredar luas jarang sekali bukan HKBP. Situs rohani di internet bukan milik HKBP (website HKBP yang penulis ikut membidaninya karena satu atau lain hal macet dan begitu sulit berkembang, website HKBP Rawamangun sudah dianggarkan namun penulis tidak bisa memastikan apakah tahun ini bisa direalisir). Lantas apa saja yang dapat diperoleh anggota HKBP dari gerejanya yang bernama HKBP? Jika kita tidak hanya ingin mengeluh, apa saja yang harus kerjakan sekarang ini?

4. Konseling.
Anggota HKBP kota sangat membutuhkan pelayanan konseling. Mereka butuh penggembalaan secara pribadi. Dan ini salah satu titik lemah HKBP. Maukah kita jujur: dari seratus jemaat HKBP
di Jabotabed berapakah yang memiliki ruang khusus konseling? (di HKBP Rawamangun hanya sebentar ruang konseling kemudian tidak ada lagi). HKBP mana saja yang menyediakan jam konseling dan jadwal petugas konseling (yang diinformasikan secara luas di warta jemaat)? Memang ada satu jemaat HKBP yang mencantumkan bahwa pendetanya dapat dihubungi “24 jam sehari”, namun penulis justru sangsi apakah hal itu benar-benar diniatkan dari dalam hati dan direncanakan matang mengingat keterbatasan kita sebagai manusia. Berapakah pendeta dan penatua HKBP kita di kota yang memiliki kecakapan dan ketrampilan konseling dan membentuk tim konseling (agar tidak tergantung kepada pribadi si pendeta)? Jawaban-jawaban jujur atas pertanyaan-pertanyaan di atas, mungkin membuat kita semakin malu dan mendekati frustrasi.

Mungkin ada yang mengatakan pendeta di kota terlalu sibuk dan tidak punya waktu lagi untuk konseling. Namun, dapatkah kesibukan beribadah dan sempitnya waktu dijadikan alasan untuk menghapuskan pelayanan konseling dari gereja?
Menurut penulis, masalah ini sangat berat dan tidak bisa dipecahkan oleh seorang pendeta di tingkat lokal saja. Distrik-distrik HKBP di kawasan perkotaan sebaiknya memprogramkan pelayanan konseling di jemaat-jemaat ini (bukan mengambil alihnya, namun mendorong jemaat-jemaat serius memikirkan dan melaksanakannya). Selain itu kita juga harus melibatkan warga jemaat kita dari berbagai disiplin ilmu terutama yang berprofesi sebagai psikolog, dokter dan guru bekerjasama membangun tim konseling gereja.


5. Doa
Kesibukan, kerumitan, dan tekanan hidup membuat anggota HKBP kita di kota atau metropolitan sangat membutuhkan jam doa dan saat teduh. Namun kegiatan ekonomi atau profesi membuat mereka bisa lebih banyak menghabiskan waktu di tempat pekerjaan ketimbang di rumah. Bagi banyak orang kondisi rumah yang sempit dan sesak juga menyulitkan untuk berdoa pribadi. Namun lebih “celaka” lagi gereja HKBP ternyata juga tidak dapat dijadikan tempat berdoa pribadi.

Penilaian penulis gedung-gedung gereja HKBP kita di kota-kota besar dirancang atau diset hanya sebagai tempat kebaktian sekali seminggu dan bukan kebaktian apalagi doa pribadi setiap hari. Gedung-gedung gereja HKBP di Jakarta di luar hari Minggu sering dalam keadaan terkunci dan tidak lazim digunakan bagi kegiatan doa pribadi atau kelompok. Ada teman pendeta yang bercerita,suatu hari seorang eksekutif di kawasan segitiga emas Jakarta bergumul hendak mengambil keputusan penting dan dia ingin berdoa di gereja sebelum mengambil keputusan. Ia melihat dari kantornya di pencakar langit segitiga emas Jakarta ada sebuah gedung gereja. Lantas, dia pun ke sana. Rupanya gereja HKBP. Ia ingin sekali berdoa di sana. Namun apa yang terjadi? Pintu gereja terkunci rapat! Ada fenomena menarik, dengan banyaknya gereja HKBP di kota memakai AC, maka gereja semakin tidak bisa digunakan di luar kebaktian minggu. Kenapa? Jendela, pintu dan ventilasi ditutup sementara AC hanya dinyalakan dalam kebaktian umum (untuk menghemat), jadi bagaimana orang bisa berdoa pribadi dengan tenang sambil kepanasan pada hari-hari biasa?

6. Visitasi
Visitasi adalah problem utama gereja metropolitan. Sebagian anggota HKBP di Jabotabek terutama yang mengontrak atau kost sering tidak diketahui pasti alamatnya. Sebagian lagi tinggal terlalu jauh dari gereja. Sebagian lagi keluar pagi pulang malam. Sebagian lagi suami dan istri hidup pisah rumah (karena pekerjaan), sehingga pendeta atau penatua segan datang. Sebagian lagi tinggal di apartemen eksklusif yang sulit untuk didekati. Sebagian lagi warga jemaat sudah terlalu sering dikunjungi dalam rangka meminta dana sehingga segan untuk dinasehati. Tampaknya belum ada usaha yang cukup sistematis mengorganisir visitasi dalam konteks metropolitan. Bagaimana caranya kita membangun tim-tim melibatkan lebih banyak warga jemaat untuk visitasi?

Di sebuah jemaat HKBP di Sumbagsel, penulis tahu visitasi pernah menjadi program Punguan Ina yang sukses. Anggota Punguan Ina dibagi dalam group-group kecil melakukan visitasi setiap hari secara bergantian ke rumah sakit,jemaat yang lanjut usia dan miskin dan lain-lain. Di HKBP Rawamangun visitasi dilakukan setiap hari Rabu diorganisir oleh Dewan Diakonia. Hasilnya luar
biasa. Gereja HKBP dianggap sangat peduli kepada warganya. Bagaimana di jemaat HKBP lainnya?

Merespons pola kehidupan warga jemaat mungkin kita harus memikirkan bentuk-bentuk visitasi khas kota besar. Sebagian warga mungkin harus dikunjungi di tempat kerja atau usahanya (memanfaatkan waktu istirahat), sebagian lagi “dikunjungi” melalui telepon atau fax atau di ruang maya (internet). Sebagian lagi mungkin dikunjungi di titik temu (meeting point) di tengah kota
.

7. Diakonia

Menurut penulis jemat-jemat HKBP di kota harus serius membangun diakonia sosial jika ingin kehadiran HKBP dirasakan dan berwibawa di mata jemaatnya. Diakonia bukan cuma urusan pusat tetapi pertama-tama dan terutama urusan jemaat. Sekarang juga. Diakonia juga tidak boleh didelegasikan kepada lembaga marga atau parsahutaon atau kepada pemerintah atau orang lain.
Sekarang marilah kita tanya, berapakah anggaran masing-masing jemaat untuk diakonia? Berapa persenkah anggaran diakonia itu jika dibandingkan dengan seluruh anggaran jemaat?

Penulis tidak ingin mengajak kita cuma mengeluh atas keadaan ini. Potensi HKBP di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya dan lain-lain sebenarnya mampu melakukan banyak hal yang berguna bagi warganya dan masyarakat. Karena itu, mari kita berlomba-lomba melakukan diakonia ini. Bukankah HKBP yang beranggotakan 3 juta warga dan terdiri dari 3000 jemaat ini
seharusnya malu karena dalam usia hampir seratus lima puluh tahun kita cuma punya satu panti asuhan anak yatim piatu Elim, satu panti orang buta di Hephata? Bagaimana kalau jemaat-jemaat di Jakarta atau kota-kota lainnya menambah jumlah panti asuhan, sekolah, rumah sakit itu? Penulis bermimpi betapa kuat dan berpengaruhnya HKBP jika setiap jemaat HKBP terutama di kota diwajibkan memiliki satu Komisi Beasiswa, satu Poliklinik, dan satu Kursus Komputer!

8. Pembinaan terencana

Pertumbuhan iman warga bukanlah instan. Pembinaan adalah usaha yang terencana, sengaja, sistematik. Namun bagaimana dengan HKBP di kota: apakah pembinaan warga memang dilakukan secara terencana dan sengaja serta sistematis? Sekali lagi mungkin kita harus mengaku dosa. Pembinaan-pembinaan yang kita lakukan seringkali belum mengikuti kaidah-kaidah pedagogi atau androgogi. Mari kita lihat contohnya. Sampai sekarang HKBP belum punya kurikulum katekisasi sidi, belum punya kurikulum katekisasi pernikahan, belum punya kurikulum pendidikan calon sintua, belum punya ini belum punya itu.

Daripada menunggu-nunggu terus, apalagi sambil bersungut, bagaimana jika HKBP di kota memulai saja membuat kurikulum lokal untuk langsung diuji coba, dan kemudian ditawarkan kepada yang lainnya, hingga akhirnya diadopsi menjadi milik HKBP secara sinodal? Sedbagai contoh di HKBP Menteng Lama Halimun sudah ada terobosan membuat bahan pemandu Sekolah Minggu yang lebih baik secara pedagogis dan PAK.

Secara khusus penulis ingin menyoroti betapa lemahnya kita dalam hal pembinaan remaja. Selain tidak adanya Guru Remaja (kecuali di HKBP Jl. Jambu, Jatinegara, Kebon Jeruk dan Rawamangun), maka kurikulum pembinaan remaja HKBP juga belum ada. Kita bersyukur bahwa guru-guru atau
pendamping remaja sangat idealis, kreatif dan militan sehingga membuat sendiri dengan susah payah. Namun penulis mau menyarankan agar pendamping remaja dari empat gereja (yang sudah berpengalaman mendampingi remaja) dapat duduk bersama menyusun draft kurikulum remaja, untuk kemudian ditawarkan kepada HKBP. Ini jauh lebih baik, ketimbang menunggu Pusat atau Distrik.


9. Kebaktian weik.

Kebaktian weik sering disebut sebagai bentuk pembinaan di HKBP. Namun mari kita lihat kritis masalah kebaktian weik ini. Pertama: banyak gereja HKBP sebenarnya menganggap kebaktian weik apalagi persekutuan anggota di tingkat weik bukanlah sesuatu yang sangat vital. Kita masih menganggap kebaktian minggu itulah yang pertama dan terutama. Sebab itu kita jarang berpikir untuk membangun dan memperkuat weik-weik yang ada. Kedua: efisiensi kebaktian wijk ini di
metropolitan apalagi Jakarta bisa menjadi masalah karena penyebaran anggota HKBP yang acak. Seorang bisa tinggal di Cibubur namun masih terdaftar di Rawamangun. Seorang pendeta HKBP yang ditempatkan di Sudirman atau Kernolong Jakarta, misalnya, bisa jadi harus keluar dari rumah jam lima sore,untuk
 memimpin partangiangan wijk,dan kembali ke rumah jam duabelas malam. Ketiga: Apakah partangiangan wijk itu efektif? Berhubung warga jemaat yang hadir di kebaktian wijk itu sangat majemuk dari berbagai latar belakang umur,profesi, ekonomi, pendidikan, gaya hidup dan lain-lain sangat sulit untuk melakukan diskusi pendalaman iman yang fokus dan serius dalam kebaktian wijk. Yang tinggal mungkin hanyalah percakapan silahturahmi. Tentu saja di kota besar kita masih butuh silahturahmi,namun kita juga butuh pembinaan yang serius dan terencana baik.


10. Pembinaan berdasarkan profesi dan minat

Bagaimanapun juga kita HKBP harus menemukan jalan keluar atas permasalahan pembinaan warga gereja ini. Jemaat HKBP di kota metropolitan membutuhkan lebih banyak kategori pembinaan. Memang kita sudah mempunyai secara tradisional pembinaan berdasarkan kategori perkembangan umur (anak SM, remaja, pemuda, dewasa ama dan dewasa ina). Mungkin kita harus jujur untuk mengakui pembinaan kategori perkembangan itu pun belum optimal karena kurang perencanaan
dan tidak adanya sistem.

Jemaat-jemaat HKBP di kawasan metropolitan juga sedang membutuhkan pembinaan berdasarkan kategori profesi. Mungkin lebih mudah bagi jemaat HKBP di kota besar sekarang mengumpulkan orang berdasarkan profesi dan minat ketimbang berdasarkan kedekatan wilayah. Terbentuknya koor-koor profesional di Jakarta membuktikan hal itu.

Lantas bagaimana kalau kita mencoba membentuk sebanyak-banyaknyapunguan atau kelompok yang diarahkan untuk aktivitas yang lain: misalnyapunguan atau kelompok diskusi iman dan adat, pemerhati program televisi, olahraga basket atau tennis dan lain-lain.

Orientasi kepada pembinaan ini menyadarkan kita bahwa jemaat HKBP membutuhkan sebanyak-banyaknya pelatih atau coach. Kita harus mengakui bahwa kita baru berhasil dalam satu hal: menyediakan pelatih koor. Namun HKBP belum memiliki cukup pelatih rohani, pelatih kepemimpinan, pelatih diskusi dan lain-lain. HKBP di kota seringkali terjebak dengan nama besar.
Kebetulan di jemaat itu ada seorang pakar atau pejabat pemerintah dan kita memintanya memberi ceramah dan lantas kita menganggap ceramah itu adalah sebuah pembinaan! Padahal perubahan apakah yang dihasilkan oleh sebuah ceramah seorang pakar atau pejabat? Sebab untuk mendorong terjadinya perubahan jemaat-jemaat HKBP membutuhkan rangkaian pelatihan, workshop atau lokakarya yang sistematis dan berkelanjutan.

11. Liturgi

Liturgi yang bagaimanakah yang mendorong penghayatan warga jemaat HKBP di kawasan metropolitan bertemu dan berinteraksi dengan Tuhannya? Liturgi bagaimanakah yang dapat mengekspresikan dinamika dan pergumulan jemaat kota,dan sekaligus mengkomunikasikan pesan Tuhan kepada umatNya yang hidup di suatu masyarakat industri dan informatika.

Dalam hal liturgi ini jemaat-jemaat HKBP di kota seringkali terjebak di dua ekstrim. Pertama, sebagian anggota jemaat ingin secara kaku mempertahankan agenda HKBP yang disusun dalam konteks agraris (dan tidak memuat satu pun kata Indonesia). Kedua, sebagian lagi anggota jemaat serta-merta melepaskan semua pedoman agenda HKBP dan “larut” dalam ibadah alternatif (baca: kharismatik atau pantekostal). warga jemaat moderen.

Penulis sama sekali tidak percaya bahwa liturgy ala kharismatik atau pentakostal satu-satunya alternatif liturgy yang baik melayani perjumpaan gereja dengan Tuhannya. Sebab itu penulis tidak setuju kepada beberapa gereja HKBP yang gaya-gayaan atau latah-latahan membuat “kebaktian khusus” (baca: kebaktian ala kharismatik atau pentakostal dengan gaya entertainment dan showbiz). Menurut penulis itu bukan jawaban atas masalah yang kita hadapi. Menurut penulis kita butuh pembaharuan liturgy namun tetap dalam semangat liturgy itu dan bukan dengan menabrak atau merusaknya! Sebab itu menunggu Komisi Liturgi HKBP menyelesaikan tugasnya merevisi Agenda (Bahasa Batak dan Indonesia) HKBP ada baiknya jika kita mulai menyusun suplemen (pelengkap) Agenda HKBP yang lebih mengakomodir pergumulan, penghayatan dan ekspressi iman manusia moderen. Kita membutuhkan lebih banyak spontanitas (karena itu semakin memerlukan pengaturan). Kita butuh lagu-lagu baru (namun tidak harus yang memekakkan telinga dan membungkam warga berhenti berpikir). Kita butuh peran dan partisipasi warga gereja (dan bukan show atau pameran kata-kata dari segelintir warga yang merasa lebih rohani atau tercerahkan.)

12. Pengorganisasian

Bagaimanakah gereja HKBP metropolitan diorganisir? Pengamatan penulis banyak hal di jemaat-jemaat HKBP di metropolitan seakan mengalir begitu saja. Seolah-olah semua akan menjadi baik dan selesai dengan sendirinya jika dibiarkan oleh pendeta ressort. Atau,sebaliknya semua akan menjadi baik jika dilarang oleh pendeta ressort. Mari kita ajukan lagi pertanyaan-pertanyaan
mengusik: manakah jemaat HKBP di kawasan metropolitan yang rencana kerja enam tahun (empat tahun)? Jemaat HKBP mana yang memiliki rencana kerja dan anggaran tahunan yang sungguh-sungguh dilaksanakan, dievaluasi dan ditindaklanjuti?

Kita bersyukur bahwa HKBP memiliki konstitusi baru yang lebih baik dari yang sebelumnya. Namun
kita sangat membutuhkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis konstitusi yang baru itu, terutama yang menyangkut sistem dan prosedur baku di gereja kita. Sebab terlalu banyak enerji kita habis di jemaat karena ketidakjelasan sistem dan prosedur organisasi dan keuangan di level bawah HKBP. Pertanyaan: siapa yang mau mengerjakan berbagai juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis
(petunjuk teknis) HKBP? Siapa yang mau mulai membangun sistem di HKBP?

13. Database Jemaat

Satu persoalan mendasar yang belum terselesaikan di jemaat-jemaat HKBP di kota metropolitan adalah persoalan database. Kita tidak tahu secara persis atau akurat siapa, berapa, di mana dan bagaimana kehidupan anggota jemaat kita. Sebagian anggota jemaat tidak pernah mendaftar sama sekali di HKBP di kota tersebut. Sebagian lagi terdaftar di suatu jemaat di kota tersebut namun sudah pergi lagi entah kemana. Sebagian lagi terdaftar di dua atau tiga jemaat karena terus-menerus pindah rumah. Menurut pemikiran penulis, database adalah PR pertama dan terutama jemaat HKBP di Jabotabek dan kota besar lainnya,yang hanya dapat tuntas jikalau dikerjakan bersama, dan jikalau kita berhenti berorientasi kepada pesta dan festival! Sebab tanpa database kita tidak mungkin membuat perencanaan. Salah satu jemaat yang sudah serius membangun database ini (walau belum tuntas) adalah HKBP Rawamangun dengan SIHARA (Sistem Informasi HKBP Rawamangun).

Sejalan dengan pembangunan database ini sebenarnya sudah waktunya HKBP melakukan sistem komputerisasi administrasi, keuangan dan pelayanannya. Pendeta, parhalado parartaon, bendahara serta semua unit pelayanan dapat mengakses posisi keuangan gereja setiap saat di layar komputernya. Parhalado tidak perlu lagi dicurigai “memanipulasi uang gereja” sebab semua penerimaan dan pengeluaran uang gereja transparan. Apalagi dengan era internet sekarang, e-church atau gereja HKBP elektronik itu sebenarnya bukan mimpi kosong namun harapan yang dapat dikonkretkan dalam waktu sangat dekat jika didukung oleh komitmen manajemen gereja

14. Informasi dan Komunikasi

Kita kini hidup di era informatika. Lantas bagaimanakah kesadaran jemaat-jemaat HKBP tentang informasi? Sampai saat ini di sebagian besar jemaat HKBP di kawasan metropolitan tingting atau warta jemaat masih dianggap sesuatu tidak begitu perlu (kecuali menghabiskan banyak waktu). Barangkali kita harus menydarkan diri bahwa tingting adalah media komunikasi gereja yang paling efisien dan efektif menjangkau warganya. Tingting bukan sekedar pengumuman anak lahir atau
orang yang hendak menikah tetapi seharusnya digunakan sebagai corong pengeras suara atau “perpanjangan kotbah gereja”. Jemaat-jemaat HKBP di kawasan metropolitan sebaiknya mengelola tingting ini dengan sangat serius, dengan membentuk Tim khusus yang dipimpin langsung oleh Pendeta Ressort dan Guru Huria dengan terus-menerus mengajukan pertanyaan: apa saja informasi penting yang harus kita sampaikan kepada warga jemaat dan bagaimana kita membahasakannya?

Menurut penulis, daripada capek-capek membuat majalah atau bulletin gereja (biasanya cuma bertahan tiga nomor!) mending kita mengefektifkan tingting atau warta jemaat (kalau perlu membuat suplemen/ pelengkapnya) setiap minggu. Tingting, sesuai dengan tuntutan modernitas, juga bisa dibuat bersifat dialogis sehingga berfungsi sebagai mekanisme umpan balik bagi gereja.

15. Kantor gereja.

Mari kita mengunjungi kantor-kantor gereja HKBP kita di kawasan metropolitan. Apa yang kita
lihat? Kantor gereja HKBP mana saja di Jakarta ini yang sudah beroperasi jam sembilan pagi,hari Senin sampai Jumat? Kantor gereja HKBP mana yang memiliki fasilitas komunikasi faksimile dan email? Jika salah satu indikator kemajuan adalah jumlah PC (Personal Computer) di tiap ruang, mari kita hitung berapa komputer ada di tiap kantor jemaat HKBP di Jabotabed?

Mari kita lebih terbuka untuk mengakui bahwa kantor gereja HKBP kita umumnya harus berusaha untuk mewujudkan dirinya sebagai pusat atau simpul pelayanan. Berapa lamakah dibutuhkan seorang anggota jemaat untuk mengurus surat-menyurat di kantor gereja? Dukungan dan bantuan informasi apa sajakah yang disediakan kantor gereja kepada warga jemaat? Ramahkah pegawai-pegawai gereja HKBP kita melayani warga jemaat yang datang menyerahkan persembahan atau mengurus surat yang dibutuhkannya? Apakah setiap warga jemaat yang datang diarahkan juga untuk berdoa atau konseling bersama pendeta atau cuma diterima uangnya?

16. Arsitektur gereja

Sebagaimana sudah kita singgung di atas gedung gereja HKBP di kawasan metropolitan umumnya hanya dirancang sebagai tempat pertemuan atau ibadah hari Minggu. Padahal aktivitas gereja begitu banyak dari hari Senin sampai Sabtu. Apakah kita menyediakan cukup ruang dan fasilitas untuk aktivitas jemaat yang begitu banyak di luar hari Minggu ini? Apakah arsitektur gereja mendukung kegiatan belajar-mengajar Sekolah Minggu, pembinaan kaum muda, pertemuan dan diskusi kelompok-kelompok warga, pelayanan konseling, pelayanan diakonia dan lain-lain ini menyadarkan kita masih banyak lagi seharusnya yang mau dan mampu kita lakukan sebagai gereja kota. Satu contoh sederhana saja, berhubung jarak rumah ke gereja yang jauh,banyak anggota jemaat mengikuti aktivitas gereja langsung dari kantor atau tempat lain. Itu artinya mereka membutuhkan beberapa sarana, antara lain toilet yang bersih dan harum, locker untuk menyimpan pakaian, dapur atau kantin untuk makan, serta lobbi untuk istirahat sejenak dan bertemu saudara-saudara, taman untuk melegakan perasaan dan perpustakaan untuk menambah wawasan. 

Bagaimana kalau kita memulainya hari ini juga?

(pernah dimuat di Surat Parsaoran Immanuel September 2002, diperbaiki)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar